KPPU Medan: Harga Jagung Mahal, Ancam Peternak Mandiri

MEDAN – Harga jagung pakan ternak di Sumateta Utara saat ini rata- rata mengalami kenaikan.

Kenaikan harga jagung pakan ternak itu mendapat perhatian Kepala Kanwil I Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Ridho Pamungkas.

Berdasarkan pantauan, harga jagung di Kota Medan pada 2 Februari 2024 adalah Rp.6.119 per kilogram.

“Harga ini jauh masih lebih tinggi dari Harga Acuan Penjualan  atau HAP jagung di konsumen yang diatur pemerintah, yaitu Rp5.000 per kilogram,” kata Ridho, Jumat (2/2/2024).

Disebutkannya, harga jagung saat ini masih bergerak fluktuatif, sempat mencapai puncaknya pada 23 Januari 2024 di harga Rp.6.500 per kilogram, meski sempat mengalami penurunan hingga Rp.5.381 per 1 Januari 2024.

Pada satu bulan terkahir ini, katanya harga jagung masih selalu di atas HAP.

Hal ini terkait dengan gangguan ketersediaan stok di sentra produksi baik di Jawa, Nusa Tengga Barat, maupun Sulawesi, yang mengalami kekeringan.

“Menarik, fluktuasi harga jagung ternyata tidak selalu berkorelasi positif dengan harga daging ayam ras,” kata Ridho.

Menurutnya ada fenomena yang menarik. Ketika harga jagung bergerak naik, harga daging ayam justru bergerak turun. Namun ketika harga jagung turun, harga daging ayam malah bergerak naik.

“Artinya, pergerakan harga jagung tidak berkorelasi positif dengan pergerakan harga daging ayam,” ujarnya.

Ridho menilai kondisi ini sangat mungkin terjadi karena perbedaan pola permintaan di pasar antara jagung dan daging ayam.

Permintaan jagung untuk pakan ternak tergantung dari volume ayam hidup di peternakan.

Sedangkan permintaan terhadap daging ayam dipengaruhi momen-momen tertentu yang dapat mengubah permintaan konsumen serta harga komoditi pangan lain sebagai subsitusinya.

Faktor lain yang juga mempengaruhi, katanya adalah kondisi struktur pasar dalam industri perunggasan.

Dijelaskan Ridho, struktur Industri Unggas Indonesia saat ini dapat dikatakan Oligopoli.

Dimana terdapat beberapa pelaku usaha yang menguasai industri ini, terutama di sisi hulu.

Secara garis besar saat ini terdapat dua kelompok pelaku usaha, dalam industri unggas nasional, yakni kelompok pelaku usaha terintegrasi.

Pada kelompok ini umumnya merupakan pelaku usaha besar yang melakukan seluruh jenis usaha dari dari hulu ke hilir.

Sedangkan kelompok lainnya adalah pelaku usaha kecil peternak mandiri, yang umumnya berada di tengah-tengah rantai pasok, yakni pada usaha budidaya unggas.

”Ketidak sanggupan peternak dalam membeli pakan ternak yang terus naik, sementara harga daging ayam cenderung stagnan atau malah menurun jelas memukul kelompok peternak mandiri,” ungkapnya.

Dengan demikian, tambah Ridho sudah pasti peternak mandiri akan kalah bersaing apabila berhadapan head to head dengan pelaku usaha terintegrasi, yang juga memproduksi pakan ternak.

Dalam kondisi harga livebird di bawah biaya produksi, perusahaan terintegrasi dengan pola kemitraan masih dapat bertahan karena mendapat keuntungan dari penjualan DOC, pakan dan obat-obatan.

Sementara bagi peternak mandiri, mereka harus mencari pasar yang mampu menyerap produksinya di atas harga pasar untuk mengurangi kerugian.

Ridho menyebutkan, dengan konsentrasi pasar yang terus meningkat, pelaku usaha terintegrasi dapat mengendalikan harga. Hal itu akan mengakibatkan tingkat persaingan usaha akan menurun.

“Jika kondisi ini dibiarkan tentunya tidak sehat bagi iklim persaingan,” ucapnya.

Untuk itu dalam waktu dekat ini, KPPU Kanwil I bersama Dinas Perkebunan dan Peternakan Sumut akan melakukan pembinaan dan pengawasan langsung ke lapangan.

“Kita akan melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat,” sebutnya.

Selain itu juga pengawasan terhadap kemitraan sektor unggas untuk menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.( tanai)