MEDAN-Hakim Pengadilan Negeri Medan, Ahmad Sumardi diminta membebaskan terdakwa Hendra Putra Sembiring (33) yang didakwa terkait perkara penganiayaan yang dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) AP. Frianto Naibaho selama 7 bulan penjara.
Hal tersebut diungkapkan Ardiansyah Putra Munte SH selaku Penasehat Hukum terdakwa Hendra Putra Sembiring warga Jalan Plamo Garden Blok F 1 No.20 Kelurahan Balai Permai Kecamatan Batam Kota kepada wartawan, Kamis (15/6/2023) usai sidang dengan agenda tuntutan diruang cakra 4 PN Medan.
Dijelaskannya, apa yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) melalui tuntutannya terhadap Hendra Putra Sembiring yang didakwa melakukan penganiayaan adalah suatu hal yang tidak ada kewajarannya, baik dari segi visum yang diduga di rekayasa, saksi yang memberatkan waktu kejadian ketika terjadinya perkelahian antara terdakwa dan saksi korban tidak ada diharikan ke persidangan .
“Kami menduga dan menaruh kecurigaan baik saksi korban, penyidik dan pihak rumah sakit ada merekayasa alias adanya dugaan niat yang tidak baik terhadap terdakwa. Sebab perkara ini menurut Ahli yang dihadirkan kepersidangan menyalahi Undang-undang dan perkara ini tidak cukup dijadikan alat bukti dalam perkara ini,” ujar Penasehat Hukum terdakwa Ardiansyah Putra Munte SH.
Ditegaskannya, untuk itu kami menilai Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak mempunyai saksi, seharusnya JPU menuntut sesuai alat bukti, kami merasa yang dilakukan JPU terlalu hebat, kami apresiasi kepada JPU yang menuntut terdakwa selama 7 bulan penjara, dan pada sidang berikutnya kami akan melakukan pledoi.
Dikatakannya, perihal tendang kepala patah kaki sebelah kanan bagian paha, menurut pengakuan terdakwa kepada Majelis Hakim terdakwa tidak ada menendang kaki saksi korban.
Hal itu juga dibenarkan semua saksi yang dihadirkan kepersidangan mengatakan terdakwa tidak ada menendang kaki saksi korban sebelah kanan bagian paha.
Lanjut Ardiansyah, jadi dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa adalah tidak benar. Sebab saksi meringankan sebelumnya sudah menerangkan secara jelas dan terang bahwa terdakwa Hendra Putra Sembiring sama sekali tidak ada melakukan tendangan kebagian kaki kanan bagian paha saksi korban.
“Padahal sudah jelas diterangkan saksi a de charge (meringankan) bahwa antara terdakwa dan saksi korban hanya berkelahi yang berawal hanya bertengkar mulut saja karena masalah lalulintas jalan raya, dan pertengkaran tersebut berujung saling baku hantam. Hal tersebut juga sudah dibuktikan oleh terdakwa melalui penasehat hukumnya dengan melampirkan bukti-bukti yang ada,” jelasnya.
Pengacara terdakwa Hendra Putra Sembiring juga heran dengan tuntutan yang disampaikan JPU dengan menghukum terdakwa selama 7 bulan penjara, pada hal JPU tidak dapat membuktikan kebenaran tersebut dalam persidangan.
“Padahal faktanya justru Hendra Putra Sembiring lah yang menjadi korban, karna dapat dibuktikan dengan keterangan saksi a de charge (meringankan) dan visum yang diduga direkayasa oleh oknum penyedik,” ujarnya menambahkan.
Karena hasil visum saksi korban juga sangat mengada-ngada dan dalam dakwaan JPU sama sekali tidak ada menerangkan rincian luka dan patahnya kaki kanan bagian paha saksi korban.
“Kita menduga hasil visum yang menyebutkan luka dan patah kaki kanan bagian paha tersebut palsu atau Penuntut Umum tidak cermat dalam menyusun surat dakwaan, sebab saksi meringankan sudah sangat jelas menerangkan bahwa terdakwa tidak ada menendang saksi korban,” jelasnya.
Terakhir, Pengacara Hendra Putra Sembiring mengatakan nantinya Majelis Hakim dapat menilai dan mempertimbangkan kebenaran perkara ini, harapnya agar nantinya Majelis Hakim memutus dengan putusan bebas murni terhadap terdakwa.
Alasannya, berdasarkan fakta persidangan saksi yang memberatkan tidak ada, sedangkan visumnya menurut Ahli banyak kejanggalan, adapun kejanggalannya dan belum kuat dan tidak bisa dijadikan alat bukti dalam perkara ini.
“Kami memohon agar pak hakim memutus dengan putusan bebas murni terhadap terdakwa, sebab kami menduga terdakwa Hendra Putra Sembiring dalam perkara ini korban dugaan rekayasa visum dari oknum penyidik, Dokter dan JPU tidak teliti dan tidak cermat dalam menyusun surat dakwaannya,”bilang PH terdakwa.
Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) AP. Frianto Naibaho dalam nota tuntutanya dihadapan Majelis Hakim diketuai Ahmad Sumardi menyebutkan, terdakwa dituntut selama 7 bulan penjara sebagaimana diatur dan diancam pada Pasal 351 Ayat (1) KUHP.
Dari persidangan sebelumnya juga diketahui dr. Agustinus Sitepu M Ked (For) Sp FM yang dihadirkan kepersidangan guna memberikan keterangan terkait visum et repertum yang dialami saksi korban Andri Harun Siregar kuat dugaan tidak berdasarkan Undang-Undang yang berlaku.
“Sebab, terkait surat visum yang dikeluarkan Rumah Sakit Setia Budi belum cukup dijadikan bukti atau tidak bisa dijadikan bukti dalam perkara ini,” ujar dr. Agustinus Sitepu M Ked (For) Sp FM dihadapan Majelis Hakim Ahmad Sumardi.
Lebih rinci, dr. Agustinus Sitepu M Ked (For) Sp FM menjelaskan, Visum secara Nasional itu terbagi lima bagian, yaitu yang pertama, visum yang di buat Dokter sah menurut Undang-Undang (Hukum). Kedua ada pendahuluannya yakni isi visum, isi visum harus ada Identitas yang membuat visum yaitu nama Dokternya sendiri.
Selanjutnya yang ketiga, yakni orang yang meminta visum, itu adalah penyidik, dan didalam visum harus ada nama penyidik, pangkat dan dari mana penyidiknya berasal, itu harus dituliskan di keterangan surat visum.
“Berikutnya kata Ahli lagi, orangnya yakni korban, atau orang yang divisum, juga wajib dituliskan nama atau identitasnya secara lengkap dan jelas,”kata Ahli.
Seterusnya adanya pemberitaan, dalam pemberitaan ini harus dituliskan apa yang ditemukan oleh Dokter sebagai yang membuat visum. Artinya apa yang ditemukan dalam pemeriksaan terhadap korban itulah dibuat dan dituliskan oleh Dokter dalam keterangan pada visum tersebut dan visum et repertum ini wajib berdasarkan Undang- Undang, tidak bisa ditambah maupun dikurangi dan kalau visumnya tidak sesuai fakta, Dokter yang membuat visum bisa dilaporkan sesuai Pasal 242 tentang keterangan palsu.
“Artinya kalau dikurangi dan ditambahi,maka dampaknya bisa berbeda pada yang sebenarnya. Hal ini dapat dikatakan Dokter telah memberi keterangan palsu tentang visum dimaksud dan visum ini tidak bisa dijadikan alat bukti dalam perkara ini, dan Dokter yang membuat visum bisa dilaporkan sesuai Pasal 242 tentang keterangan palsu,”jelas Ahli dr. Agustinus Sitepu M Ked (For) Sp FM(Red)